LEGAL STANDING DALAM KONSEP HUKUM ADAT MINANGKABAU

Artikel

Oleh

Inrawaldi, S.H., M.H.,

Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Padang

Padang, 9 Februari 2023

Pendahuluan

           Masyarakat Minangkabau merupakan salah satu etnis/suku bangsa yang terdapat di Indonesia yang sampai saat ini masih tetap eksis dalam kehidupan masyarakat dan bermasyarakat dalam lingkungan masyarakat Minangkabau baik yang berada di perantauan maupun di kampung halaman, yang secara normatif dalam beberapa peraturan perundang-undangan masih mengakui keberadaan dari masyarakat hukum adat tersebut selama masyarakat hukum adat itu masih ada.

           Sistem hukum yang berlaku pada masyarakat Minangkabau adalah sistem matriakat, yang menarik tali kekerabatan melalui garis keturunan ibu, dimana di Indonesia hanya dianut oleh beberapa etnis, diantaranya masyarakat Kabupaten Ngada Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan sebahagian dari masyarakat Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur.

           Pembentukan hukum dalam masyarakat Minangkabau dipengaruhi oleh keadaan terciptanya masyarakat hukum adat tersebut, atau kebutuhan dari masyarakatnya sendiri yang dibuat atas dasar keinginan dan kesepakatan dari masyarakat, yang kemudian dikenal dengan Hukum Adat, dimana Pasal 1 angka 9 Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 7 tahun 2018 tentang Nagari, menyebutkan bahwa Hukum Adat adalah hukum asli masyarakat yang bersumber dari peraturan-peraturan hukum tidak tertulis, tumbuh dan berkembang serta dipertahankan dengan kesadaran hukum dalam memberikan keadilan bagi masyarakatnya secara turun temurun, elastis dan dapat menyesuaikan diri dalam berbagai pertimbangan hukum. Pembentukan hukum tersebut ada yang berlaku umum untuk seluruh wilayah Minangkabau, dan ada juga yang berlaku untuk wilayah teritorial tertentu, yang dalam hal ini Nagari. Pembentukan Hukum dalam suatu wilayah Nagari yang cuma akan berlaku pada wilayah Nagari tersebut, dikenal dengan Adat Salingka Nagari, yaitu adat yang berlaku dalam suatu Nagari sesuai dengan prinsip adat yang berlaku secara umum atau adat sebatang panjang dan diwarisi secara turun temurun di Minangkabau (sebagaimana disebutkan Pasal 1 angka 11 Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 7 tahun 2018 tentang Nagari).

           Salah satu syarat untuk dapat dikatakan sebagai masyarakat Minangkabau harus memiliki hak kebendaan, baik hak kebendaan yang  bersifat immaterial yang disebut sako, maupun hak kebendaan yang bersifat materil, yang disebut pusako, sehingga dengan hak kebendaan yang dimiliki tersebut, akan dapat ditelusuri dan bahkan diketahui tentang asal usul seseorang, apakah yang bersangkutan merupakan orang Minangkabau ataukah tidak, yang mana hal ini akan mempengaruhi kepada pewarisan dari hak kebendaan tersebut.

           Hak kebendaan atas sako dan pusako tersebut hanya akan ditemui pada suatu kaum yang berasal dari satu garis keturunan, khusus terhadap pusako akan ditemukan istilah harta pusaka tinggi yang merupakan hak ulayat yang bersifat komunal dari kaum tersebut, yang pewarisannya berlangsung dalam lingkup kaum tersebut saja. Selain hak ulayat kaum, juga dikenal adanya hak ulayat suku dan hak ulayat nagari, yang sistem kepemilikannya berbeda dengan hak ulayat kaum.

Legal Standing dalam konsep Hukum Adat Minangkabau

           Minangkabau yang mengenal struktur masyarakat berupa kaum dan suku, dimana kaum dan suku tersebut adalah merupakan kelompok masyarakat, maka untuk kepentingan kelompok tersebut untuk melakukan suatu tindakan untuk kepentingan kelompoknya agar supaya masing-masing anggota kelompok tidak bertindak sendiri-sendiri yang dapat merugikan anggota kelompoknya atau kelompoknya sendiri, maka perwakilan atau yang mewakili kepentingan kelompok menjadi hal yang sangat penting. Sebagai perwujudan perwakilan kelompok, maka kelompok tersebut diwakili oleh penghulu (datuak), disisi lain terdapat pula istilah Mamak Kepala Waris, yang fungsinya berbeda dengan Penghulu, sekalipun pada suatu ketika dalam suatu kaum jabatan Penghulu dijabat oleh orang yang sama yang juga berkualifikasi sebagai Mamak Kepala Waris.

           Pasal 1 angka 12 Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 6 tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya memberikan pengertian tentang Penghulu, yaitu pemimpin dalam suku ataupun kaum, ia adalah pemegang hak ulayat atas sako (gelar kebesaran pemimpin) dan pusako (harta pusaka berupa tanah ulayat dan harta benda), selanjutnya dalam Pasal 1 angka 13 Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 6 tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya memberikan pengertian tentang Mamak Kepala Waris, yaitu laki-laki tertua atau yang dituakan di jurai/paruik dalam satu kaumnya, pengertian Mamak Kepala Waris mana selaras dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 180 K/Sip/1971 tanggal 25 Agustus 1971 yang memuat kaidah hukum bahwa Mamak Kepala Waris adalah laki-laki tertua dalam kaumnya, dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1598 K/Sip/1975 tanggal 24 Agustus 1977 yang memuat kaidah hukum bahwa menurut Hukum Adat Minangkabau, Mamak Kepala Waris dari suatu kaum adalah laki-laki tertua dalam kaumnya, apabila ternyata laki-laki yang tertua tidak dapat melakukan fungsinya sebagai Mamak Kepala Waris, maka laki-laki yang muda dapat diangkat sebagai Mamak Kepala Waris dengan persetujuan dari seluruh anggota kaum.

           Agusti Efi Marthala dalam bukunya “Penghulu & Filosofi Pakaian Kebesaran Konsep Kepemimpinan Tradisional Minangkabau”, menjelaskan bahwa seorang penghulu adalah seorang pemimpin dalam masyarakat Minangkabau, yang bertanggung jawab melindungi anak kemenakannya. Sebagai pemimpin adat, penghulu haruslah memegang teguh adat istiadat serta norma-norma yang berlaku. Seorang penghulu adalah orang yang memenuhi persyaratan tertentu dan jelas asal usul keturunannya, mempunyai kepribadian dan kemampuan memimpin, serta mempunyai latar belakang keluarga yang baik. Selain itu seseorang yang akan dijadikan penghulu juga dilihat dari ketaatan beragama, kepribadian, ekonomi dan kharismatik serta mempunyai nilai lebih di antara semua anak kemenakan di dalam satu kaum atau sukunya. Dan penghulu tidak dapat diangkat dan diturunkan dari kepemimpinannya semaunya, hanya dapat dilakukan bila memenuhi persyaratan tertentu.

           Penghulu yang sudah diangkat oleh anggota suatu kaum, yang bersangkutan berperan sebagai niniak mamak, dimana berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 16 Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 7 tahun 2018 tentang Nagari, memberikan pengertian bahwa Niniak Mamak adalah orang yang diangkat sebagai penghulu oleh suku/kaum dalam suatu nagari.

           Penghulu sebagai pemimpin kaum berfungsi diantaranya apabila terjadi sengketa di dalam kaumnya dan atau dengan pihak lain, maka penghulu tersebut akan menyelesaikan sengketa tersebut (kusuik manyalasai, karuah mampajanjiah), disamping itu penghulu mewakili kaumnya di dalam nagari atau di kerapatan nagari, berlainan halnya dengan Mamak Kepala Waris.

           Dalam suatu nagari terdapat adanya suatu lembaga kerapatan, yang disebut dengan Kerapatan Adat Nagari, dimana menurut Pasal 1 angka 6 Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 7 tahun 2018 tentang Nagari menentukan bahwa Kerapatan Adat Nagari adalah lembaga yang merupakan perwujudan permusyawaratan perwakilan tertinggi dalam penyelenggaraan Pemerintah Nagari yang keanggotaannya terdiri dari perwakilan ninik mamak dan unsur alim ulama Nagari, unsur cadiak pandai, unsur Bundo Kanduang, dan unsur parik paga dalam Nagari yang bersangkutan sesuai dengan adat salingka nagari.Pengertian Kerapatan Adat Nagari terdapat sedikit perbedaan dengan yang tertuang dalam Pasal 1 angka 15 Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 6 tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, yang memberikan pengertian bahwa Kerapatan Adat Nagari adalah Lembaga Perwakilan Permusyawaratan dan Permufakatan Adat tertinggi Nagari yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun sepanjang adat di tengah-tengah masyarakat Nagari di Sumatera Barat.

           Melihat kepada perbedaan fungsi dari Penghulu dan Mamak Kepala Waris, sekalipun sama-sama merupakan perwakilan kelompok atas nama kaumnya tersebut, selanjutnya akan dijelaskan fungsi dari masing-masing Penghulu dan Mamak Kepala Waris yang merupakan kewenangan yang ada padanya, sebagai berikut:

Fungsi Penghulu:

1.  Pengangkatan seseorang untuk menjadi Penghulu yang sudah memenuhi persyaratan untuk itu, didasarkan kepada kesepakatan dari seluruh anggota anggota kaum yang sudah memenuhi syarat untuk ikut sebagai peserta pemilih, yang diantaranya adalah baligh berakal, tanpa membedakan jenis kelamin. Kesepakatan mana tidak hanya untuk memilih seseorang anggota kaumnya untuk diangkat jadi Penghulu, melainkan anggota kaum tersebut memiliki kesepakatan pula untuk diatur di kemudian hari oleh Penghulu yang diangkat tersebut.

2.  Sebagai pemimpin kaum, dan pemegang hak ulayat atas sako dan pusako.

3.  Mewakili anggota kaumnya dalam proses pengadilan, apabila terjadi sengketa mengenai sako dengan pihak lain di luar kaumnya.

4.  Sama halnya dengan fungsi seorang mamak terhadap kemenakannya yang harus melaksanakan tugas “siang caliak-caliak an, malam danga-dangakan”, yang mengandung makna bahwa seorang Penghulu harus mengetahui kondisi dan keberadaan anggota kaumnya dalam setiap waktu, termasuk mengenai hak kebendaan terutama yang merupakan hak ulayat.

5.  Pengambil keputusan dalam permusyawaratan mencapai mufakat dari kaumnya, apabila ada sesuatu hal yang merupakan pekerjaan dan menjadi tanggung jawab dari kaumnya.

6.  Menyelesaikan sengketa di antara anggota kaumnya (manyalasaikan nan kusuik, manjaniahkan nan karuah).

7.  Utusan dari kaum untuk mewakili kaumnya, baik dalam kegiatan yang bersifat informal, umpamanya melakukan pelamaran terhadap kemenakannya yang sudah pantas melangsungkan pernikahan, atau dalam kegiatan yang bersifat formal dalam rapat di Kerapatan Adat Nagari.

8.  Bersama dengan Mamak Kepala Waris melakukan pembagian atas penguasaan hak ulayat berupa harta pusaka tinggi kaumnya terhadap anggota kaumnya secara merata dan berkeadilan.

9.  Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap anggota kaumnya.

10.  Menjaga harga diri dan martabat kaumnya.

Fungsi Mamak Kepala Waris:

1.  Mewakili kaum sebagai pemilik tanah ulayat kaum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 6 tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya menentukan bahwa Mamak Kepala Waris mewakili anggota kaum masing-masing jurai/paruik sebagai pemilik tanah ulayat kaum.

2.  Mengurus harta pusaka tinggi, sebagaimana juga dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1595 K/Sip/1970 tanggal 26 September 1977, yang memuat kaidah hukum bahwa menurut Hukum Adat Minangkabau, pengurusan harta pusaka tinggi terletak pada Mamak Kepala Waris dalam kaum, sedangkan pengurusan harta pusaka rendah pada anak-anak.

3.  Mewakili anggota kaum dalam proses pengadilan, apabila terjadi sengketa harta pusaka tingginya dengan pihak yang berada di luar kaumnya, sebagaimana dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 217 K/Sip/1970 tanggal 12 Desember 1970, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1646 K/Sip/1974 tanggal 9 November 1977, dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 112 K/Sip/1975 tanggal 22 Juni 1975, yang memuat kaidah hukum gugatan dalam harta pusaka tinggi diajukan oleh Mamak Kepala Waris.

Penutup

          Demikian gambaran bahwa Penghulu tersebut berbeda dengan mamak Kepala Waris, dilihat dari segi fungsinya, semoga bermanfa’at.

 20,901 total pengunjung